Lonceng yang terbentuk dari logam kuningan yang tergantung di depan
ruang guru berdentang tiga kali tanda jam pelajaran berganti dengan
waktu istirahat.
Seluruh siswa berbondong-bondong keluar kelas dan menghambur menuju
tempat tujuannya masing-masing. Sekelompok siswa laki-laki segera
berkumpul di lapangan dan mulai membagi tim untuk bermain futsal di
lapangan basket yang gersang. Sementara itu pemandangan kantin umum saat
ini lebih mirip seperti remah roti yang dirubung jutaan semut. Puluhan
bahkan hampir ratusan siswa berdesak-desakkan di kantin yang
berukuran
kecil memanjang itu demi membeli makanan atau minuman untuk memuaskan
perut mereka dan menyegarkan kembali otak yang telah dijejali berbagai
teori selama tiga jam di dalam kelas. Sementara sisanya ada yang lebih
memilih untuk berdiam diri di sekitar kelas, sekedar duduk-duduk di
bawah rindangnya pohon ketapang yang berdiri kokoh di depan kelas.
Hariyanto adalah salah satu dari beberapa siswa yang memilih aktivitas
terakhir dari yang ku sebutkan tadi.
Ia dengan gitarnya sedang duduk manis di bangku tepat di bawah pohon
ketapang di depan kelas kami. Alisnya berkerut ketika jari-jari
tangannya memetik nada yang kurang tepat. Sesekali ia tampak komat-kamit
menyanyikan lirik lagu yang dimainkannya sementara jemari tangan
kirinya dengan lincah berubah posisi berpindah dari satu senar ke senar
lain mengikuti ketentuan kunci-kunci palang.
“Serius amat, Har.” Aku langsung duduk di sebelahnya dan cengengesan ketika tahu ia terkejut.
“Ah kamu ini ngagetin aja.” Ia menoleh sebentar ke arahku lalu kembali serius dengan gitarnya.
“Lagu apa, sih?” tanyaku penasaran. Ia berhenti sejenak lalu melipat kedua tangannya dan bertopang dagu pada tubuh gitar.
“Aku lagi mau nyiptain lagu buat Riani.” ku lihat matanya manatap lurus
ke depan dan sudut bibirnya terangkat mengukir sebuah senyum tipis nan
getir. Sementara kuikuti pandangan matanya yang ternyata menuju tepat ke
sebuah titik nun jauh di ujung kantin sana. Sebuah noktah. Noktah yang
ditulis dan dibuat sedemikian rupa oleh Sang Penciptanya sehingga tampak
indah lebih dari sekedar titik biasa. Riani Anggi Purnamasari.
“Ck! Kamu itu sedang kasmaran, toh?” cibirku sementara Hariyanto masih senyam-senyum sendiri.
“Tembak saja buruan.” Ia mengangkat kepalanya dan mentapku penuh arti.
“Tembak menembak bukan perkara mudah, Rin. Salah tembak bisa mati ayam
orang, jeleknya juga aku yang kena damprat diminta pertanggung jawaban
oleh pemiliknya.” Ia tampak serius namun aku justru tergelak mendengar
teorinya barusan.
“Dasar kamu itu! Mentang-mentang jenius dan penuh perhitungan lalu
wanita disamakan dengan ayam. Sialan!” kataku sambil tergelak dan
Hariyanto menatapku heran.
“Loh, bukan disamakan, Rin. Itu hanya perumpamaan.” Aku semakin tergelak melihat wajah polosnya yang lebih mirip orang blo’on.
“Coba lihat mukamu itu kayak orang bego!” aku menunjuk-nunjuk wajahnya sambil terus tergelak memegangi perut.
“Ah, kamu ini, Rin.” Ia beralih dan kembali bertopang dagu di gitarnya.
Tawaku mereda karena ia tidak merespon alih-alih justru kembali
memerhatikan sosok Riani di sudut kantin yang tengah asyik mengobrol
dengan beberapa siswi lainnya.
“Dia cantik, sih.” Kataku setelah menenangkan diri dan kini ikut serta memerhatikan Riani.
“Bukan Cuma cantik, Rin. Riani itu indah. Mahakarya sempurna yang dibuat
Tuhan dari seonggok tulang rusuk.” Aku menyunggingkan senyum mendengar
kalimat puitis Hariyanto. Dasar cecunguk lagi kasmaran. Orang bodoh juga
bisa jadi penyair hebat kalau urusan cinta ternyata.
“Ku dengar dia lagi nggak punya pacar.” Kataku.
“Itulah, Rin. Mutiara kerang memang seharusnya dijaga dengan baik dalam
cangkangnya.” Tawaku hampir meledak mendengar ketidak nyambungan kalimat
Hariyanto barusan.
“Tembak menembak bukan perkara mudah. Mental, Rin, taruhannya. Kalau
nggak siap ditolak bisa patah hati seumur hidup.” ku lirik wajahnya yang
tampak serius.
“Sudah sejak kapan?” tanyaku.
“Sejak aku satu kelompok diskusi sama dia minggu lalu.” aku tersenyum simpul.
“Paling enggak aku butuh tiga bulan untuk pendekatan.” Sambungnya membuatku menjitak kepalanya.
“Kelamaan, bego!”
“Loh namanya juga perlu perhitungan.” Ia sama sekali tidak mengaduh atau
merespon jitakanku barusan. Apakah itu namanya keajaiban cinta? Bahkan
dijitak saja tidak sakit.
“Wanita itu, Har. Kelemahannya ada di satu titik.” aku berbisik membuat
Hariyanto mendongak dan menatapku dengan mata berbinar-binar.
“Apaan, Rin?” aku tersenyum penuh arti dan mengisyaratkan dia untuk
mendekatkan telinganya. Ia dengan sigap mendekatkan telinganya dan aku
mulai berbisik.
“Rahasianya itu… pe…let…” ia dengan sigap menarik tubuhnya agak condong menjauh dariku.
“Ah yang serius, Rin.” aku nyengir.
“Nggak dosa kok. Aku ajarin pelet yang paling gampang lah.” Tawarku
dengan senyum jahil. Hariyanto tampak ragu namun akhirnya mengangguk.
Dasar cecunguk! Masuk kau dalam perangkapku. Hehehe
“Sekarang kamu ke tengah lapangan sana.” Perintahku dengan hati
menggebu-gebu. Ku lihat Hariyanto menatapku bingung dengan kening
berkerut.
“Ah, kamu sih mana pernah serius. Bodohnya aku.” Ia kemudian berdiri dan
berlalu masuk ke kelas meninggalkan aku yang terbengong seperti orang
idiot. Dasar Hariyanto sialan.
Pukul delapan malam tepat seusai aku makan malam bersama keluarga, Hariyanto mengirimkan sebuah pesan singkat ke ponselku.
“Hariyanto:
Rin, sbuk? Aku mau tlp.”
Tumben sekali dia, pikirku.
“Marinka:
Nggk. Ad ap? Tlp aj.”
Kira-kira dua menit setelah pesanku terkirim, ponselku berdering
tanda ada panggilan masuk dan seperti dugaanku, nama Hariyanto yang
muncul di layar ponsel.
“Halo?”
“Halo, selamat malam. Bisa bicara dengan saudara Marinka?” terdegar suara berat di seberang sana.
“Har, nggak usah sok resmi, deh. Aku tahu kok kamu cita-citanya mau jadi polisi.” Hariyanto tergelak.
“Hehehe… Sibuk, Rin?”
“Nggak. Ada apa, sih?”
“Eh, aku baru aja selesai nyiptain lagu buat Riani. Kamu dengarin dulu, ya. Nanti kasih tahu kalau nggak bagus.”
“Dengerin lewat telepon?”
“Iya.”
“Gila, modal amat, Har. Mending buat nelpon si Riani kalau gini.” Tak
ada sahutan. Hanya terdengar suara berisik, sepertinya Hariyanto sedang
mempersiapkan gitarnya.
“Dengerin ya, Rin. Jangan ketiduran karena suaraku merdu.” Aku melet
mendengar ia menyombongkan dirinya sendiri di seberang sana. Sementara
nada-nada intro mulai terdengar samar.
“Adakah rasa yang salah dalam hati ini?
Tatkala kulihat sepasang manik beningmu hatiku bergetar…
Adakah yang salah dalam diri ini?
Ketika di dekatmu aku gugup…
Kau, gadis manis dengan sepasang mata bening…
Manakah lagi bening dibanding hatimu?
Hmmm… Adakah yang salah di diriku?
Apabila rasa ini adalah cinta untukmu…
Kau tersenyum jauh namun mengusikku,
Kau bertutur pelan namun mengusikku,
Apakah yang salah dengan diriku
Apakah ini cinta untukmu…”
Aku diam sejenak meresapi setiap lirik yang samar terdengar sementara Hariyanto memainkan nada-nada intro.
“Namun apa dayaku terlalu lemah
Hanya mampu menatapmu mengangumimu
Hmmm… Adakah yang salah di diriku
Apabila rasa cinta ini untukmu…”
Intro penutup mulai berdentingan dan hatiku begitu hanyut dalam setiap penggal lirik yang dinyanyikan Hariyanto.
“Gimana, Rin?” tiba-tiba suara Hariyanto membuyarkan lamunanku.
“Hah? Oh, eh, bagus, bagus… Tapi klasik banget, Har. Jadi inget Ebiet G.
Ade atau Iwan Fals waktu kamu nyanyi tadi. Tapi keren sih.”
“Mereka berdua itu musisi hebat, Rin. Setiap penggal lirik yang mereka
buat penuh arti bagi yang mendengar. Bagus lah, kalau kamu bilang aku
mengingatkanmu pada mereka. Artinya kamu anggap aku musisi hebat.”
“Dasar kepedean…” aku mulai menyesali kaliamatku sebelumnya.
“Hehehe… Apa terlalu jadul ya, Rin? Kira-kira Riani suka nggak ya?”
“Hmm… Nggak tahu lah. Aku sih suka aja.
“Wah aku jadi minder, Rin.”
“Loh kok gitu? Coba aja besok kamu mainkan di kelas waktu ada Riani. Ya
pura-puranya nggak buat dia dulu lah. Kita lihat responnya gimana.”
“Ah, malu aku, Rin.”
“Banci kamu, Har? Hariyanto apa Haryanti kamu?” aku puas bisa menantangnya.
“Sialan kamu. Okelah besok aku main. Ya sudah ya. Makasih banyak, Rin.”
“Ya, sama-sama.” Sambungan telepon di seberang ditutup kemudian aku
merebahkan diri di kasur. Saat memejamkan mata, suara Hariyanto kembali
terngiang-ngiang di telingaku.
“Apakah yang salah dengan diriku
Apakah ini cinta untukmu…”
Sudut bibirku terangkat dan aku tersenyum tipis seiring dengan keberangkatan jiwaku menuju alam bawah sadar.
—
“Rin, kayaknya hari ini aku nggak usah maini lagu itu dulu kali ya.”
Hariyanto menghampiri kursiku saat aku baru saja meletakkan ranselku di
meja.
“Loh kenapa?” aku bertanya tanpa menatapnya karena sibuk mencari buku catatan untuk pelajaran pertama.
“Aku mau ngajak dia ngobrol dulu.” Aku menatapnya jengkel.
“Ya ngobrol aja. Duh, lagian kamu nih yam au pdkt kok ribet amat.”
“Hehehe…” ia nyengir sebelum beranjak meninggalkanku. Ku lihat ia
mengangkat ranselnya dan meletakkannya di meja yang terletak di samping
kursi Riani. Dasar. Ia tersenyum entah apa maksudnya melihat aku yang
memandangnya ketus dari sudut kelas sini. Dasar cinta bikin gila.
Sejak saat itu, Hariyanto semakin gencar mendekati Riani karena
mendapat lampu hijau dari sang pujaan hati. Ya, sering ku lihat mereka
duduk berdua atau berjalan bersama ke kantin saat istirahat. Atau pagi
hari tak jarang ku lihat mereka datang bersama dan Hariyanto membawakan
tas Riani. Dasar bocah itu sebenarnya mau jadi babu apa pacarnya Riani?
“Sudah kusuruh Riani dengarkan laguku waktu itu.” Hariyanto tiba-tiba duduk di kursi sebelahku.
“Tumben kau kemari. Mana gebetanmu itu?” tanyaku acuh sambil menyuap nasi.
“Ketus amat, Rin.” Aku diam saja sambil mengunyah.
“Lalu apa responnya?” tanyaku dengan mulut penuh.
“Hah?”
“Respon! Respon si Riani tentang lagumu itu.”
“Oh, dia bilang bagus.” Jawab Hariyanto kalem.
“Baguslah.”
“Apanya yang bagus?”
“Ya bagus kalau dia bilang lagumu bagus.” Aku kembali menyuap sesendok
nasi. Dan tidak ada percakapan lain setelahnya antara aku dan Hariyanto.
Masing-masing sibuk menyelami pikirannya sendiri dengan backsound
kebisingan kelas di jam istirahat. Aku dengan berbagai macam tetek
bengek pikiranku, dan Hariyanto dengan entah apa yang ada dalam
pikirannya saat ini. Riani, mungkin, atau pasti.
—
“Hah?! Riani pacaran sama Irwan?” aku terbelalak mendengar kabar yang
dibawa Nurul. Yang benar saja?! Bukankah selama tiga bulan ini yang
gencar pendekatan dengan Riani adalah Hariyanto? Kenapa Irwan yang jadi
pacarnya?
“Loh, kamu nggak tahu, Rin? Mereka kan emang sering pulang pergi sekolah bareng.” kata Nurul lagi.
Pulang pergi bareng? Bukannya setiap pagi Riani datang bareng si Hariyanto?
“Tapi kan Hariyanto…”
“Iya, aku juga awalnya heran. Si Riani kan dekat banget sama Hariyanto
akhir-akhir ini, tapi dia juga sering pulang pergi bareng Irwan. Kalau
malam minggu juga aku sering lihat mereka keluar berdua.” Tidak heran
sih kenapa si Nurul tahu banyak soal Riani, dia kan tetangganya.
“Lagian kalau disuruh milih, aku juga akan milih Irwan kok daripada
Hariyanto. Dia itu aneh.” Darahku berpacu cepat dengan detak jantung
mendengar kalimat terakhir Nurul barusan. Aneh? Dia bilang Hariyanto
aneh?!
“Aneh gimana maksudmu?” tanyaku setelah berhasil mengatur emosi.
“Ya aneh, Rin. Aku aja heran kok kamu tahan temanan sama dia. Kamu nggak
sadar, satu kelas itu nganggap dia aneh. Okelah dia pintar secara
akademik, tapi dia itu terlalu cupu, Rin. Kudet pula. Hobinya meluk
gitar tiap istirahat dan bengong, bukannya kumpul sama yang lain.”
“Dia sering main basket kok. Apa itu namanya bukan membaur?”
“Ya iya sih, Rin. Tapi… Ah nggak tahu lah! Hampir semua siswi di kelas
kita nganggap dia itu freak, aneh, cupu.” nafasku menderu menahan emosi
tak terima sahabatku ternyata dikucilkan secara munafik oleh teman-teman
sekelasnya sendiri. Padahal aku tahu, aku melihat dengan mata kepalaku
sendiri, anak-anak ini, cecunguk-cecunguk di kelasku ini, mereka yang
menganggap Hariyanto adalah seorang makhluk aneh itu adalah mereka yang
acapkali bertanya kepadanya ketika ada materi yang tidak dimengerti,
yang senantiasa mengoper buku tugas milik Hariyanto untuk disalin
jawabannya yang 90% benar, mereka yang berbisik-bisik disaat ulangan
meminta Hariyanto memberi sedikit pencerahan kepada otak buntu mereka,
dan bangku di depan kelas yang berdiri kokoh di bawah pohon ketapang di
depan kelas itu adalah buah tangan seorang Hariyanto. Seandainya mereka
mampu menghitung sudah berapa kali pantat mereka duduk adem ayem disitu.
Di atas jerih usaha seorang Hariyanto demi kenyamanan teman-temannya.
Dan kini, di belakang Hariyanto mereka terang-terangan
menggunjingkannya. Munafik!
Aku bergegas mencari Hariyanto keluar kelas dan langkahku terhenti
ketika melihat sepasang insan duduk bercegkrama di bangku yang berdiri
kokoh di bawah pohon ketapang di depan kelasku. Riani dan Irwan. Darahku
mendidih seakan siap meledak dan tumpah ruah dari ubun-ubun, namun
kemudian mataku menangkap sekelebatan sosok jangkung yang tengah
mendribel bola di lapangan basket. Tubuh jangkung yang proporsional itu
melesat gesit di antara sosok lainnya sambil matanya awas mencari celah
untuk mengoper bola ke teman satu timnya. Hariyanto. Di lapangan basket
ia tampak lebih keren daripada biasanya. Ia terlihat jauh lebih tampan
dan lebih gagah daripada Hariyanto yang sering berjalan menunduk
memanggul ransel dan berlagak culun. Siapa sosok di lapangan basket yang
menyerupai Hariyanto itu? Yang setiap kali melihatnya membuat jantungku
berdetak lebih cepat namun berirama. Gendang telingaku seakan tuli
dengan sendirinya dari segala macam kebisingan yang ada di sekelilingku.
Yang terngiang-ngiang dengan pasti adalah bait-bait lirik, yang terekam
apik hinggap melekat dan entah sudah berapa kali berputar-putar dalam
otakku.
“Adakah yang salah di diriku?
Apabila rasa ini adalah cinta untukmu…
Kau tersenyum jauh namun mengusikku,
Kau bertutur pelan namun mengusikku,
Apakah yang salah dengan diriku
Apakah ini cinta untukmu…
Namun apa dayaku terlalu lemah
Hanya mampu menatapmu mengangumimu
Hmmm… Adakah yang salah di diriku
Apabila rasa cinta ini untukmu…”
Ya, mungkin… Seperti lirik lagu itu, aku harus bertanya pada diriku
saat ini. Apa yang salah dengan diriku? Apa yang salah dengan perasaan
dalam jiwaku? Semenjak kehadiran Hariyanto dalam hidupku, aku selalu
merasa ada yang salah dengan diriku. Saat di dekatnya aku merasa senang,
nyaman, dan tak ingin pergi. Saat tak bersamanya kadang aku ingin ia
ada. Saat berbicara dengannya aku merasa dunia begitu indah dalam
sepasang bola mata hitam miliknya. Mengutip lirik lagu itu, aku mulai
bertanya pada diriku, apakah cinta ini untukmu? Untuk seorang Hariyanto?
Kemana pula harus ku temukan jawabannya. Karena sejauh ini aku tidak
pernah tahu dan bahkan tidak mampu menerka jawaban dari pertanyaan itu.
Karena setiap kali aku mencoba mencari jawaban di sepasang manik hitam
pekat milih Hariyanto, bayangan seorang Riani lah yang muncul disitu.
Bukan bayanganku.
—
“Riani pacaran sama Irwan?” aku menatapnya yang baru saja duduk di
kursi penonton di tepi lapangan basket. Ia menatapku sebentar lalu
terkekeh. Ia menengadah ke langit sore sementara aku miris. Miris
melihat keadaannya dan mendengar suara tawanya yang serasa menyayat
hatiku.
“Kau tahu darimana?” tanyanya sambil menoleh. Aku menelan ludah dan
mencoba menjelajahi samudra pekat di sepasang bola mata miliknya yang
kini berkilauan ditimpa semburat jingga sang mentari senja.
“Nurul.” Jawabku pendek lalu menatap langit. Tak ada suara lagi dari Hariyanto. Kami terdiam untuk beberapa menit.
“Lalu apa keputusanmu sekarang?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku
yang menengadah ke langit sore demi menahan syaraf mataku agar tidak
menumpahkan air mata yang sudah siap menetes dari peraduannya. Aku
merasa sedih, terluka, dan kecewa. Entah untuk siapa. Apakah untuk
diriku atau untuk Hariyanto yang bertepuk sebelah tangan cintanya.
“Menurutmu, Rin?” Hariyanto balik bertanya dan aku hanya mengangkat bahu. Ia diam sejenak lalu ku dengar helaan nafasnya.
“Mungkin aku ingin menunggunya.” Deg!
“Menunggu dia membuka hati untukku…”
“Sampai… kapan?” aku bersuara pelan.
“Entahlah…” katanya acuh. Aku terdiam tak mampu berkata-kata lagi.
“Har…” ia menoleh saat ku panggil.
“Jangan menunggu jika tidak mampu bersabar.” Ia tersenyum lalu kembali melempar pandangan ke langit sore.
“Tidakkah kau ingin membuka hati untuk yang lain saja?” nada suaraku
penuh arti. Namun, mungkin arti itu tidak tertangkap oleh seorang
Hariyanto yang kala itu relung hatinya masih dipenuhi sosok Riani Anggi
Purnamasari.
“Entahlah, Rin…” Hatiku semaki pedih tersayat ujung kalimatnya.
“Tidakkah kau mau menyingkirkan sosok Riani barang sejenak dari hatimu
demi mereka nggg… atau demi seseorang yang mungkin justru lebih
mencintaimu dari Riani?” Hariyanto tersenyum simpul.
“Tuhan mempertemukan kita dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan
orang yang tepat, agar kita belajar dari orang tersebut dan kemudian
siap untuk membina komitmen dengan sebaik-baiknya. Mungkin itu yang
sedang terjadi pada Riani. Aku hanya perlu sabar menunggu ia menyadari
kesalahannya dan tampil sebagai sosok yang mengisi relung hatinya.”
Hariyanto tertawa renyah. Aku hampir kalah dengan air mata.
Tidakkah kau sadar, Har, orang yang salah itu adalah kau dan Riani. Sedangkan orang yang benar untukmu adalah aku.
“Masih banyak ikan di laut, Har. Ku anggap kau sedang terperangkap dalam
sebuah kolam dengan satu ikan koi di dalamnya. Aku harap kolam itu
memiliki celah bagimu agar kau menemukan muara ke laut dan melihat bahwa
ikan tidak hanya seekor koi di dalam kolam itu saja.” Hariyanto masi
terkekeh kemudian menoleh ke arahku.
“Sejak kapan kau menjadi seorang peyair ulung, Rin? Apakah kau sedang
jatuh cinta? Hahaha… Katakan padaku siapa lelaki beruntung itu, Rin?”
Tidakkah kau pernah menilik hatiku, Har? Ada kamu disitu.
SUMBER : Thepieceofwords.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar