Kamis, 26 Februari 2015

In Your Eyes

Lonceng yang terbentuk dari logam kuningan yang tergantung di depan ruang guru berdentang tiga kali tanda jam pelajaran berganti dengan waktu istirahat.
Seluruh siswa berbondong-bondong keluar kelas dan menghambur menuju tempat tujuannya masing-masing. Sekelompok siswa laki-laki segera berkumpul di lapangan dan mulai membagi tim untuk bermain futsal di lapangan basket yang gersang. Sementara itu pemandangan kantin umum saat ini lebih mirip seperti remah roti yang dirubung jutaan semut. Puluhan bahkan hampir ratusan siswa berdesak-desakkan di kantin yang
berukuran kecil memanjang itu demi membeli makanan atau minuman untuk memuaskan perut mereka dan menyegarkan kembali otak yang telah dijejali berbagai teori selama tiga jam di dalam kelas. Sementara sisanya ada yang lebih memilih untuk berdiam diri di sekitar kelas, sekedar duduk-duduk di bawah rindangnya pohon ketapang yang berdiri kokoh di depan kelas. Hariyanto adalah salah satu dari beberapa siswa yang memilih aktivitas terakhir dari yang ku sebutkan tadi.
Ia dengan gitarnya sedang duduk manis di bangku tepat di bawah pohon ketapang di depan kelas kami. Alisnya berkerut ketika jari-jari tangannya memetik nada yang kurang tepat. Sesekali ia tampak komat-kamit menyanyikan lirik lagu yang dimainkannya sementara jemari tangan kirinya dengan lincah berubah posisi berpindah dari satu senar ke senar lain mengikuti ketentuan kunci-kunci palang.
“Serius amat, Har.” Aku langsung duduk di sebelahnya dan cengengesan ketika tahu ia terkejut.
“Ah kamu ini ngagetin aja.” Ia menoleh sebentar ke arahku lalu kembali serius dengan gitarnya.
“Lagu apa, sih?” tanyaku penasaran. Ia berhenti sejenak lalu melipat kedua tangannya dan bertopang dagu pada tubuh gitar.
“Aku lagi mau nyiptain lagu buat Riani.” ku lihat matanya manatap lurus ke depan dan sudut bibirnya terangkat mengukir sebuah senyum tipis nan getir. Sementara kuikuti pandangan matanya yang ternyata menuju tepat ke sebuah titik nun jauh di ujung kantin sana. Sebuah noktah. Noktah yang ditulis dan dibuat sedemikian rupa oleh Sang Penciptanya sehingga tampak indah lebih dari sekedar titik biasa. Riani Anggi Purnamasari.
“Ck! Kamu itu sedang kasmaran, toh?” cibirku sementara Hariyanto masih senyam-senyum sendiri.
“Tembak saja buruan.” Ia mengangkat kepalanya dan mentapku penuh arti.
“Tembak menembak bukan perkara mudah, Rin. Salah tembak bisa mati ayam orang, jeleknya juga aku yang kena damprat diminta pertanggung jawaban oleh pemiliknya.” Ia tampak serius namun aku justru tergelak mendengar teorinya barusan.
“Dasar kamu itu! Mentang-mentang jenius dan penuh perhitungan lalu wanita disamakan dengan ayam. Sialan!” kataku sambil tergelak dan Hariyanto menatapku heran.
“Loh, bukan disamakan, Rin. Itu hanya perumpamaan.” Aku semakin tergelak melihat wajah polosnya yang lebih mirip orang blo’on.
“Coba lihat mukamu itu kayak orang bego!” aku menunjuk-nunjuk wajahnya sambil terus tergelak memegangi perut.
“Ah, kamu ini, Rin.” Ia beralih dan kembali bertopang dagu di gitarnya. Tawaku mereda karena ia tidak merespon alih-alih justru kembali memerhatikan sosok Riani di sudut kantin yang tengah asyik mengobrol dengan beberapa siswi lainnya.
“Dia cantik, sih.” Kataku setelah menenangkan diri dan kini ikut serta memerhatikan Riani.
“Bukan Cuma cantik, Rin. Riani itu indah. Mahakarya sempurna yang dibuat Tuhan dari seonggok tulang rusuk.” Aku menyunggingkan senyum mendengar kalimat puitis Hariyanto. Dasar cecunguk lagi kasmaran. Orang bodoh juga bisa jadi penyair hebat kalau urusan cinta ternyata.
“Ku dengar dia lagi nggak punya pacar.” Kataku.
“Itulah, Rin. Mutiara kerang memang seharusnya dijaga dengan baik dalam cangkangnya.” Tawaku hampir meledak mendengar ketidak nyambungan kalimat Hariyanto barusan.
“Tembak menembak bukan perkara mudah. Mental, Rin, taruhannya. Kalau nggak siap ditolak bisa patah hati seumur hidup.” ku lirik wajahnya yang tampak serius.
“Sudah sejak kapan?” tanyaku.
“Sejak aku satu kelompok diskusi sama dia minggu lalu.” aku tersenyum simpul.
“Paling enggak aku butuh tiga bulan untuk pendekatan.” Sambungnya membuatku menjitak kepalanya.
“Kelamaan, bego!”
“Loh namanya juga perlu perhitungan.” Ia sama sekali tidak mengaduh atau merespon jitakanku barusan. Apakah itu namanya keajaiban cinta? Bahkan dijitak saja tidak sakit.
“Wanita itu, Har. Kelemahannya ada di satu titik.” aku berbisik membuat Hariyanto mendongak dan menatapku dengan mata berbinar-binar.
“Apaan, Rin?” aku tersenyum penuh arti dan mengisyaratkan dia untuk mendekatkan telinganya. Ia dengan sigap mendekatkan telinganya dan aku mulai berbisik.
“Rahasianya itu… pe…let…” ia dengan sigap menarik tubuhnya agak condong menjauh dariku.
“Ah yang serius, Rin.” aku nyengir.
“Nggak dosa kok. Aku ajarin pelet yang paling gampang lah.” Tawarku dengan senyum jahil. Hariyanto tampak ragu namun akhirnya mengangguk. Dasar cecunguk! Masuk kau dalam perangkapku. Hehehe
“Sekarang kamu ke tengah lapangan sana.” Perintahku dengan hati menggebu-gebu. Ku lihat Hariyanto menatapku bingung dengan kening berkerut.
“Ah, kamu sih mana pernah serius. Bodohnya aku.” Ia kemudian berdiri dan berlalu masuk ke kelas meninggalkan aku yang terbengong seperti orang idiot. Dasar Hariyanto sialan.
Pukul delapan malam tepat seusai aku makan malam bersama keluarga, Hariyanto mengirimkan sebuah pesan singkat ke ponselku.
“Hariyanto:
Rin, sbuk? Aku mau tlp.”
Tumben sekali dia, pikirku.
“Marinka:
Nggk. Ad ap? Tlp aj.”
Kira-kira dua menit setelah pesanku terkirim, ponselku berdering tanda ada panggilan masuk dan seperti dugaanku, nama Hariyanto yang muncul di layar ponsel.
“Halo?”
“Halo, selamat malam. Bisa bicara dengan saudara Marinka?” terdegar suara berat di seberang sana.
“Har, nggak usah sok resmi, deh. Aku tahu kok kamu cita-citanya mau jadi polisi.” Hariyanto tergelak.
“Hehehe… Sibuk, Rin?”
“Nggak. Ada apa, sih?”
“Eh, aku baru aja selesai nyiptain lagu buat Riani. Kamu dengarin dulu, ya. Nanti kasih tahu kalau nggak bagus.”
“Dengerin lewat telepon?”
“Iya.”
“Gila, modal amat, Har. Mending buat nelpon si Riani kalau gini.” Tak ada sahutan. Hanya terdengar suara berisik, sepertinya Hariyanto sedang mempersiapkan gitarnya.
“Dengerin ya, Rin. Jangan ketiduran karena suaraku merdu.” Aku melet mendengar ia menyombongkan dirinya sendiri di seberang sana. Sementara nada-nada intro mulai terdengar samar.
“Adakah rasa yang salah dalam hati ini?
Tatkala kulihat sepasang manik beningmu hatiku bergetar…
Adakah yang salah dalam diri ini?
Ketika di dekatmu aku gugup…
Kau, gadis manis dengan sepasang mata bening…
Manakah lagi bening dibanding hatimu?
Hmmm… Adakah yang salah di diriku?
Apabila rasa ini adalah cinta untukmu…
Kau tersenyum jauh namun mengusikku,
Kau bertutur pelan namun mengusikku,
Apakah yang salah dengan diriku
Apakah ini cinta untukmu…”
Aku diam sejenak meresapi setiap lirik yang samar terdengar sementara Hariyanto memainkan nada-nada intro.
“Namun apa dayaku terlalu lemah
Hanya mampu menatapmu mengangumimu
Hmmm… Adakah yang salah di diriku
Apabila rasa cinta ini untukmu…”
Intro penutup mulai berdentingan dan hatiku begitu hanyut dalam setiap penggal lirik yang dinyanyikan Hariyanto.
“Gimana, Rin?” tiba-tiba suara Hariyanto membuyarkan lamunanku.
“Hah? Oh, eh, bagus, bagus… Tapi klasik banget, Har. Jadi inget Ebiet G. Ade atau Iwan Fals waktu kamu nyanyi tadi. Tapi keren sih.”
“Mereka berdua itu musisi hebat, Rin. Setiap penggal lirik yang mereka buat penuh arti bagi yang mendengar. Bagus lah, kalau kamu bilang aku mengingatkanmu pada mereka. Artinya kamu anggap aku musisi hebat.”
“Dasar kepedean…” aku mulai menyesali kaliamatku sebelumnya.
“Hehehe… Apa terlalu jadul ya, Rin? Kira-kira Riani suka nggak ya?”
“Hmm… Nggak tahu lah. Aku sih suka aja.
“Wah aku jadi minder, Rin.”
“Loh kok gitu? Coba aja besok kamu mainkan di kelas waktu ada Riani. Ya pura-puranya nggak buat dia dulu lah. Kita lihat responnya gimana.”
“Ah, malu aku, Rin.”
“Banci kamu, Har? Hariyanto apa Haryanti kamu?” aku puas bisa menantangnya.
“Sialan kamu. Okelah besok aku main. Ya sudah ya. Makasih banyak, Rin.”
“Ya, sama-sama.” Sambungan telepon di seberang ditutup kemudian aku merebahkan diri di kasur. Saat memejamkan mata, suara Hariyanto kembali terngiang-ngiang di telingaku.
“Apakah yang salah dengan diriku
Apakah ini cinta untukmu…”
Sudut bibirku terangkat dan aku tersenyum tipis seiring dengan keberangkatan jiwaku menuju alam bawah sadar.

“Rin, kayaknya hari ini aku nggak usah maini lagu itu dulu kali ya.” Hariyanto menghampiri kursiku saat aku baru saja meletakkan ranselku di meja.
“Loh kenapa?” aku bertanya tanpa menatapnya karena sibuk mencari buku catatan untuk pelajaran pertama.
“Aku mau ngajak dia ngobrol dulu.” Aku menatapnya jengkel.
“Ya ngobrol aja. Duh, lagian kamu nih yam au pdkt kok ribet amat.”
“Hehehe…” ia nyengir sebelum beranjak meninggalkanku. Ku lihat ia mengangkat ranselnya dan meletakkannya di meja yang terletak di samping kursi Riani. Dasar. Ia tersenyum entah apa maksudnya melihat aku yang memandangnya ketus dari sudut kelas sini. Dasar cinta bikin gila.
Sejak saat itu, Hariyanto semakin gencar mendekati Riani karena mendapat lampu hijau dari sang pujaan hati. Ya, sering ku lihat mereka duduk berdua atau berjalan bersama ke kantin saat istirahat. Atau pagi hari tak jarang ku lihat mereka datang bersama dan Hariyanto membawakan tas Riani. Dasar bocah itu sebenarnya mau jadi babu apa pacarnya Riani?
“Sudah kusuruh Riani dengarkan laguku waktu itu.” Hariyanto tiba-tiba duduk di kursi sebelahku.
“Tumben kau kemari. Mana gebetanmu itu?” tanyaku acuh sambil menyuap nasi.
“Ketus amat, Rin.” Aku diam saja sambil mengunyah.
“Lalu apa responnya?” tanyaku dengan mulut penuh.
“Hah?”
“Respon! Respon si Riani tentang lagumu itu.”
“Oh, dia bilang bagus.” Jawab Hariyanto kalem.
“Baguslah.”
“Apanya yang bagus?”
“Ya bagus kalau dia bilang lagumu bagus.” Aku kembali menyuap sesendok nasi. Dan tidak ada percakapan lain setelahnya antara aku dan Hariyanto. Masing-masing sibuk menyelami pikirannya sendiri dengan backsound kebisingan kelas di jam istirahat. Aku dengan berbagai macam tetek bengek pikiranku, dan Hariyanto dengan entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Riani, mungkin, atau pasti.

“Hah?! Riani pacaran sama Irwan?” aku terbelalak mendengar kabar yang dibawa Nurul. Yang benar saja?! Bukankah selama tiga bulan ini yang gencar pendekatan dengan Riani adalah Hariyanto? Kenapa Irwan yang jadi pacarnya?
“Loh, kamu nggak tahu, Rin? Mereka kan emang sering pulang pergi sekolah bareng.” kata Nurul lagi.
Pulang pergi bareng? Bukannya setiap pagi Riani datang bareng si Hariyanto?
“Tapi kan Hariyanto…”
“Iya, aku juga awalnya heran. Si Riani kan dekat banget sama Hariyanto akhir-akhir ini, tapi dia juga sering pulang pergi bareng Irwan. Kalau malam minggu juga aku sering lihat mereka keluar berdua.” Tidak heran sih kenapa si Nurul tahu banyak soal Riani, dia kan tetangganya.
“Lagian kalau disuruh milih, aku juga akan milih Irwan kok daripada Hariyanto. Dia itu aneh.” Darahku berpacu cepat dengan detak jantung mendengar kalimat terakhir Nurul barusan. Aneh? Dia bilang Hariyanto aneh?!
“Aneh gimana maksudmu?” tanyaku setelah berhasil mengatur emosi.
“Ya aneh, Rin. Aku aja heran kok kamu tahan temanan sama dia. Kamu nggak sadar, satu kelas itu nganggap dia aneh. Okelah dia pintar secara akademik, tapi dia itu terlalu cupu, Rin. Kudet pula. Hobinya meluk gitar tiap istirahat dan bengong, bukannya kumpul sama yang lain.”
“Dia sering main basket kok. Apa itu namanya bukan membaur?”
“Ya iya sih, Rin. Tapi… Ah nggak tahu lah! Hampir semua siswi di kelas kita nganggap dia itu freak, aneh, cupu.” nafasku menderu menahan emosi tak terima sahabatku ternyata dikucilkan secara munafik oleh teman-teman sekelasnya sendiri. Padahal aku tahu, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, anak-anak ini, cecunguk-cecunguk di kelasku ini, mereka yang menganggap Hariyanto adalah seorang makhluk aneh itu adalah mereka yang acapkali bertanya kepadanya ketika ada materi yang tidak dimengerti, yang senantiasa mengoper buku tugas milik Hariyanto untuk disalin jawabannya yang 90% benar, mereka yang berbisik-bisik disaat ulangan meminta Hariyanto memberi sedikit pencerahan kepada otak buntu mereka, dan bangku di depan kelas yang berdiri kokoh di bawah pohon ketapang di depan kelas itu adalah buah tangan seorang Hariyanto. Seandainya mereka mampu menghitung sudah berapa kali pantat mereka duduk adem ayem disitu. Di atas jerih usaha seorang Hariyanto demi kenyamanan teman-temannya. Dan kini, di belakang Hariyanto mereka terang-terangan menggunjingkannya. Munafik!
Aku bergegas mencari Hariyanto keluar kelas dan langkahku terhenti ketika melihat sepasang insan duduk bercegkrama di bangku yang berdiri kokoh di bawah pohon ketapang di depan kelasku. Riani dan Irwan. Darahku mendidih seakan siap meledak dan tumpah ruah dari ubun-ubun, namun kemudian mataku menangkap sekelebatan sosok jangkung yang tengah mendribel bola di lapangan basket. Tubuh jangkung yang proporsional itu melesat gesit di antara sosok lainnya sambil matanya awas mencari celah untuk mengoper bola ke teman satu timnya. Hariyanto. Di lapangan basket ia tampak lebih keren daripada biasanya. Ia terlihat jauh lebih tampan dan lebih gagah daripada Hariyanto yang sering berjalan menunduk memanggul ransel dan berlagak culun. Siapa sosok di lapangan basket yang menyerupai Hariyanto itu? Yang setiap kali melihatnya membuat jantungku berdetak lebih cepat namun berirama. Gendang telingaku seakan tuli dengan sendirinya dari segala macam kebisingan yang ada di sekelilingku. Yang terngiang-ngiang dengan pasti adalah bait-bait lirik, yang terekam apik hinggap melekat dan entah sudah berapa kali berputar-putar dalam otakku.
“Adakah yang salah di diriku?
Apabila rasa ini adalah cinta untukmu…
Kau tersenyum jauh namun mengusikku,
Kau bertutur pelan namun mengusikku,
Apakah yang salah dengan diriku
Apakah ini cinta untukmu…
Namun apa dayaku terlalu lemah
Hanya mampu menatapmu mengangumimu
Hmmm… Adakah yang salah di diriku
Apabila rasa cinta ini untukmu…”
Ya, mungkin… Seperti lirik lagu itu, aku harus bertanya pada diriku saat ini. Apa yang salah dengan diriku? Apa yang salah dengan perasaan dalam jiwaku? Semenjak kehadiran Hariyanto dalam hidupku, aku selalu merasa ada yang salah dengan diriku. Saat di dekatnya aku merasa senang, nyaman, dan tak ingin pergi. Saat tak bersamanya kadang aku ingin ia ada. Saat berbicara dengannya aku merasa dunia begitu indah dalam sepasang bola mata hitam miliknya. Mengutip lirik lagu itu, aku mulai bertanya pada diriku, apakah cinta ini untukmu? Untuk seorang Hariyanto? Kemana pula harus ku temukan jawabannya. Karena sejauh ini aku tidak pernah tahu dan bahkan tidak mampu menerka jawaban dari pertanyaan itu. Karena setiap kali aku mencoba mencari jawaban di sepasang manik hitam pekat milih Hariyanto, bayangan seorang Riani lah yang muncul disitu. Bukan bayanganku.

“Riani pacaran sama Irwan?” aku menatapnya yang baru saja duduk di kursi penonton di tepi lapangan basket. Ia menatapku sebentar lalu terkekeh. Ia menengadah ke langit sore sementara aku miris. Miris melihat keadaannya dan mendengar suara tawanya yang serasa menyayat hatiku.
“Kau tahu darimana?” tanyanya sambil menoleh. Aku menelan ludah dan mencoba menjelajahi samudra pekat di sepasang bola mata miliknya yang kini berkilauan ditimpa semburat jingga sang mentari senja.
“Nurul.” Jawabku pendek lalu menatap langit. Tak ada suara lagi dari Hariyanto. Kami terdiam untuk beberapa menit.
“Lalu apa keputusanmu sekarang?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku yang menengadah ke langit sore demi menahan syaraf mataku agar tidak menumpahkan air mata yang sudah siap menetes dari peraduannya. Aku merasa sedih, terluka, dan kecewa. Entah untuk siapa. Apakah untuk diriku atau untuk Hariyanto yang bertepuk sebelah tangan cintanya.
“Menurutmu, Rin?” Hariyanto balik bertanya dan aku hanya mengangkat bahu. Ia diam sejenak lalu ku dengar helaan nafasnya.
“Mungkin aku ingin menunggunya.” Deg!
“Menunggu dia membuka hati untukku…”
“Sampai… kapan?” aku bersuara pelan.
“Entahlah…” katanya acuh. Aku terdiam tak mampu berkata-kata lagi.
“Har…” ia menoleh saat ku panggil.
“Jangan menunggu jika tidak mampu bersabar.” Ia tersenyum lalu kembali melempar pandangan ke langit sore.
“Tidakkah kau ingin membuka hati untuk yang lain saja?” nada suaraku penuh arti. Namun, mungkin arti itu tidak tertangkap oleh seorang Hariyanto yang kala itu relung hatinya masih dipenuhi sosok Riani Anggi Purnamasari.
“Entahlah, Rin…” Hatiku semaki pedih tersayat ujung kalimatnya.
“Tidakkah kau mau menyingkirkan sosok Riani barang sejenak dari hatimu demi mereka nggg… atau demi seseorang yang mungkin justru lebih mencintaimu dari Riani?” Hariyanto tersenyum simpul.
“Tuhan mempertemukan kita dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, agar kita belajar dari orang tersebut dan kemudian siap untuk membina komitmen dengan sebaik-baiknya. Mungkin itu yang sedang terjadi pada Riani. Aku hanya perlu sabar menunggu ia menyadari kesalahannya dan tampil sebagai sosok yang mengisi relung hatinya.” Hariyanto tertawa renyah. Aku hampir kalah dengan air mata.
Tidakkah kau sadar, Har, orang yang salah itu adalah kau dan Riani. Sedangkan orang yang benar untukmu adalah aku.
“Masih banyak ikan di laut, Har. Ku anggap kau sedang terperangkap dalam sebuah kolam dengan satu ikan koi di dalamnya. Aku harap kolam itu memiliki celah bagimu agar kau menemukan muara ke laut dan melihat bahwa ikan tidak hanya seekor koi di dalam kolam itu saja.” Hariyanto masi terkekeh kemudian menoleh ke arahku.
“Sejak kapan kau menjadi seorang peyair ulung, Rin? Apakah kau sedang jatuh cinta? Hahaha… Katakan padaku siapa lelaki beruntung itu, Rin?”
Tidakkah kau pernah menilik hatiku, Har? Ada kamu disitu.

 SUMBER : Thepieceofwords.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar